Ini adalah cerita tentang seorang rekan yang saat ini bersekolah di jurusan favorit salah satu kampus top tanah air. Dia bukan orang yang biasa berprestasi sejak sekolah dasar atau menengah. Dia tidak SMP, bukan homeschooling, hanya tidak sekolah. Tidak ada guru, tidak ada buku paket, tidak ada kurikulum. Di SMA swastanya yang bukan kelas atas, hanya beberapa kali dapat peringkat.
Saat memilih kampus, diberi pilihan hanya ikut jalur nasional, yaitu SNMPTN dan SBMPTN. Sempat ditawari untuk ikut jalur mandiri karena siapa tau jika tidak lulus bakal minder. Dia tolak, walau akhirnya daftar satu jalur mandiri karena diminta. Katanya, ada beberapa alasan kenapa dia tolak: pertama, melenceng dari rencana awal; kedua, jika tidak keterima tidak apa-apa karena ada rencana cadangan; ketiga, uang pangkal terlalu besar jika hanya dipakai untuk daftar sekolah.
Pilihan pertamanya STEI ITB, pilihan keduanya Teknik Informatika ITS. Pilihan yang bisa dibilang nekat apalagi jika dipilih berbarengan. Karena memang disuruh untuk memilih pilihan yang sekalian bagus atau tidak sama sekali. Pilihan yang nekat sampai ada yang bilang, “bunuh diri itu.”
Dia mulai belajar mandiri dari September saat kelas 12 dari buku-buku soal juga menonton video dan baca-baca materi dan pembahasan soal dari internet. Empat bulan kemudian, baru mulai mengikuti les. Itu berarti 4 bulan sebelum jadwal UTBK-nya di akhir April. Jadi, total waktu belajar sekitar 8 bulan. Target belajarnya biasa saja, hanya sehari mengerjakan satu sampai satu setengah paket soal dan menonton satu video materi.
Tiga bulan terakhir, waktu semakin pendek, jadwal semakin ketat. Setelah sekolah, malamnya lanjut belajar lagi, hanya sampai jam 10 atau 11, tidak lewat tengah malam apalagi sampai pagi. Youtube di ponsel minta adiknya untuk dikunci dan membatasi hiburan lainnya. Hiburan hanya lagu, karena bisa sambil mengerjakan soal. Walau sebetulnya lagu itu tetap tidak baik. Dari segi ibadah, seperti biasa juga. Sholat wajib, tahajud kalau bangun, mungkin dhuha yang jadi lebih rajin. Jadwal tilawah hanya bertambah 2 hari sepekan.
H-7 UTBK, dia mengurangi intensitas belajar, supaya tidak stres katanya. H-3 hanya baca-baca. Bahkan H-1 malah keliling kota dan hanya baca sedikit. Tapi ketika hari-H tes, dia bilang dia diberikan ketenangan, pun saat mengerjakan soal. Memang, tenang bukan berarti bisa mengerjakan semuanya. Rentang skornya 400-an sampai 800-an. Masih ada 400 dan 500. Dengan rata-rata 651, dia diterima di pilihan kedua.
Beberapa tips dari dia:
- Pertama, harus berani mengambil yang paling bagus, walau merasa dirinya kurang.
- Kedua, punya rencana cadangan. Jalan hidup tidak hanya satu.
- Ketiga, perbanyak ibadah dan do’a. Itu kekuatan dan penguat tak terlihat.
- Keempat, do’a dan dukungan orang lain, terutama orang tua, apalagi ibu. Minta dukungan dari orang tua. Orang tua juga harus mendukung anaknya, tidak boleh menekan, harus bangga berapapun pencapaian anaknya, dan jangan membandingkan anak dengan orang lain.
- Kelima, harus siap menghadapi orang lain saat tidak lulus ataupun saat lulus.
- Keenam, terima apapun
hasilnya. Jika tidak dapat padahal sudah do’a dan usaha, itu bukan karena kita tidak bisa, hanya bukan atau belum rezeki.
Jangan menyalahkan diri sendiri, orang lain, apalagi sampai menyalahkan Allah.
Cerita ini bukan untuk menjadikan anak-anak bermimpi untuk berkuliah. Tapi karena banyak anak-anak yang bermimpi untuk berkuliah tapi takut untuk memilih pilihan yang "tinggi" cerita ini untuk mengatakan, "kalau dia saja bisa, kamu ga perlu takut". Sekian.
Kek kenal orangnya siapa 😄, semoga konsisten nulisnya mas
ReplyDeleteSemoga
Deleteoh yang ini.... nice
ReplyDeleteIya, yang ini. Jangan lupa baca tulisan yang lain ya
Delete